Pages - Menu

Quotes

Saya menulis karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, dan bukan karena ada hal lainnya. Puisi adalah sebuah bentuk karya sastra singkat untuk menuangkan apa yang ada di pikiran kita, apa yang ada di hati kita, dan apa yang ada di jiwa kita.

Rabu, 24 Oktober 2012

Tentang aku dan ayahku

Ayah tak lagi mau mengerti aku semenjak sibuk dengan temannya yang sering aku sebut  dengan panggilan om rendy. Sebenarnya aku gak mau memanggilnya dengan sebutan om karena dia bukan siapa-siapaku. bagiku ia lebih seperti badut yang selalu membuat ayahku terhibur dengan perut besarnya sampai-sampai melupakan aku. Hari ini ayah tak ada di rumah. Aku jadi bosan dengan keadaan ini. Bila sudah seperti ini aku hanya bisa main PS bersama bik nah, pembantu yang merawatku semenjak kecil. Sejak balita aku tak pernah mengenal sosok ibu. Kata ayah ibu sudah meninggal sewaktu melahirkanku. Hanya kasih sayang bik nahlah yang aku kenal dan hanya bik nah yang mengerti aku disaat aku sedih dan kesepian.
“bik, ayah mana bik?” tanyaku pada bik nah.
“belum pulang den.” jawab bibik sambil menata piring untuk aku sarapan
“kok belum pulang bik? Berarti dari tadi malam ayah gak pulang dong?”
“udah aden sarapan dulu. Ayah aden kan sibuk nyari uang buat aden. Mungkin lagi lembur kali.”
Sepertinya tiap pagi selalu seperti ini kejadiannya. Ayah gak pernah ada setiap sarapan pagi. Aku mulai menjadi kesal. Sudah 2 bulan ini ayah gak pernah ada setiap jam sarapan pagi. Begitu juga  sepulang aku dari sekolah.
Biasanya tiap hari sabtu dan minggu ayah selalu berpesan kepada bibik untuk menitipkan aku pada tetangga kami sebab tetangga kami itu mempunyai anak seumuranku, namanya Rhenata. Kata bibik agar aku ada temennya. Tapi walau ada yang nemenin aku masih saja kesepian. Aku juga bosan jika harus berada dirumah tetangga kami yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh, bahkan ia lebih menyukaiku  ketimbang anaknya.  tapi aku sama sekali tak suka dengannya. Aku paling benci ketika ia memelukku. Parfumnya begitu aneh di penciumanku membuat perutku mual. Apa lagi ketika ia mulai menciumku, bibirnya selalu menyisakan lipstik merona yang tak pernah aku sukai. Tapi anaknya cantik dan baik hati, walau begitu itu tak mempengaruhi aku untuk  betah tinggal di rumahnya. Aku hanya bisa duduk memandangi halaman yang sering membuatku agak suka dengan rumah ini. Halamannya begitu bersih dan banyak pepohonan yang akan melindungi aku dari sinar matahari. Siang itu aku duduk sendiri di beranda rumah itu Tiba2 Renatha si anak tante aneh itu datang menghampiriku dengan segelas es jeruk di tangannya.
“kamu mau?” kata retha menawarkan padaku.
“enggak, aku gak haus.” Ujarku dengan nada pelan.
“coba dikit sajalah.”
“aku bilang gak mau ya gak mau, ngerti gak sich?!!” kataku keras sambil mengalihkan gelas itu dari pandanganku. Gelas itupun pecah di hadapanku. Tak pernah aku menolak seperti itu sebelumnya mungkin karena aku terlalu marah dengan keadaan ini. Aku baru sadar betapa jahatnya aku ketika ku tatap matanya melinangkan serpihan air mata.
“Retha, maafin aku, aku gak bermaksud kasar padamu.” Cetusku pada Retha sambil membantu Retha membersihkan serpihan gelas yang terserak. Aku tertegun ketika ia dengan begitu saja memaafkan aku walaupun aku sudah begitu kasar pada Retha.
“Aku tahu kamu gak terlalu suka dengan rumaku inikan?” cetus Retha tiba-tiba.
“enggak kok, aku suka dengan rumah kamu.”
“jangan bohong, dan kamu Cuma suka dengan halaman rumahku.”
aku  terdiam ketika Retha  berkata itu. Kenapa Retha bisa tahu apa yang aku rasakan.
“a..aku suka semua bagian rumah kamu kok.” Kataku tesendat-sendat karena rasa heran yang menaungi kepalaku.
“Gak usah bohong. Semuannya terlihat jelas kok dari cara kamu memandang. Setiap kamu tiba di rumahku sepertinya kamu banyak bengong, Ada masalah ya?” kata Retha menerka-nerka.
“ee…ini tentang ayahku. Semenjak ketemu sama om Rendy.” Kataku mulai bercarita. Begitu banyak yang aku ceritakan ke Rheta tapi ia tak berkomentar apapun tentang ceritaku itu. Sampai tak terasa awan mulai memerah dan mataharipun enggan menemani indahya sore kami saat itu.

            Aku pulang kerumah dengan penat yang masih melekat dalam diriku. Sesampai di depan gerbang rumah aku belum melihat mobil ayahku di halaman. Aku pun tahu bahwa ayah pasti belum pulang dan masih sibuk dengan om gendut itu.
“aku pulang.”
“eh, aden sudah pulang” kata bibik menyambutku.
“Ayah masih belum pulang ya bik?” kataku kesal.
“ udah aden mandi dulu setelah itu aden sarapan, sarapannya udah bibik siapkaan kok pasti enak.” Kata bibik penuh semangat. Mesti seperti ini, setiap aku tanya tentang ayah, bibik selalu mengalihkan pembicaraan.
“aku gak laper bik.” Ajarku dan langsung menuju ke kamar.
Aku semakin gak betah, bahkan di rumahku sendiri. Tiba-tiba bibik menghampiriku ke kamarku yang berada di lantai 2. Dengan pelan bibik mengetuk pintu itu.
“Den, ayo sarapan dulu, ntar bibik dimarahin sama tuan.” Ajak bibik dari luar pintu.
Tapi aku pura-pura tak mendengar, dan menutupi telingaku dengan bantal. Tapi semakin rapat aku menutup telingaku sepertinya semakin jelas suara itu terdengar. Sepertinya aku tak tahan dengan teriakan bibik yang terus memanggilku dan akupun menyerah.
“kenapa?!!!” kataku keras sambil membuka pintu kamarku.
“aden makan dulu.” Kata bibik pelan.
Akhirnya dengan terpaksa akupun menuju ke ruang tengah. Disana berbagai makanan tersedia dari yang terbuat dari sayur-sayuran sampai daging. Semuanya begitu enak tetapi tak seenak keadaanku saat ini.
“bik, sebenarnya ayah kemana?” tanyaku.
“sudah, aden makannya dihabisin dulu biar kenyang.”
“mesti seperti ini. kenapa sich bibik selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku tanya tentang ayah. Apa aku tak berhak tahu ayah dimana?!!!”
“Buk…bukan git…”
“apa?!! Kenapa ayah gak pernah di rumah. Dulu aja ayah selalu dirumah tapi sekarang ketemu buat sarapan aja gak pernah bisa. Rasanya aku seperti gak punya ayah. Kenapa sich ayah gak mati saja. Dari pada gak pernah dirumah.” Kataku marah dan tangis itu jatuh h di pelukan bibik.
“ya Allah, istighfar den. Aden gak boleh bicara seperti itu.” Kata bibik menenangkanku dalam peluknya.
Secepat kata itu keluar secepat itu pula sebuah tabrakan terjadi tepat di depan rumahku.
“gubraaaakkkkk….”
Suara itu begitu sangat mengejutkanku. Aku dan bibik bergegas keluar dari rumah  lewat pintu depan yang belum sempat dikunci oleh bik Nah. Dari kejauhan terlihat sebuah mobil merah menabrak pagar rumah tetangga kami. Kap mobil itu hancur tak berbentuk lagi. Sepertinya begitu keras tabrakan itu terjadi karena selain kap mobil itu hancur pagar yang terbuat dari tembokpun berlubang cukup parah. Aku sempat tak percaya begitu melihat seseorang keluar dengan tubuh tambun serta darah mengucur dari kepalanya. Dari mobil itu  sepertinya tak asing bagiku.
“itukan om Rendy.” gumamku lirih dengan segumpal keraguan.
“iya bik, itu Om Rendy..!!”tambahku cepat ketika aku tahu bahwa itu benar-benar orang  yang aku tunjuk. Dan aku mulai sadar bahwa dimana ada Om Rendy pasti disitu ada Ayahku. dengan perasaan was-was aku langsung berlari secepat yang ku mampu menuju kecelakaan itu.
“Ayah…” begitu mengejutkan. Itu benar ayahku.
“Ayah…!!!” teriakku histeris melihat ayahku tak berdaya di dalam mobil itu. Ingin sekali aku mendekat ke ayahku tapi om Rendy mencegahku tuk mendekat. Begitu erat Om Rendy memelukku. Ku coba berontak, percumalah. Badan om Rendy terlalu besar untuk ku singkirkan.

            Begitu cepat kejadian itu berlangsung. Ayah dibawa cepat dengan ambulan menuju rumah sakit terdekat. Om Rendy yang masih trauma dengan kejadian itu dari tadi masih memelukku erat dan enggan untuk melepaskanku. Begitu sampai di rumah sakit om Rendy menceritakan semua tentang ayah.
“ayahmu benar-benar orang hebat. Ia rela bekerja tanpa kenal lelah demi seorang anak yang ia cintai. Meski Om sering memarahinya tapi selalu ayahmu menerimanya dengan lapang dada. Ayahmu selalu menemani kemanapun om pergi. Dia sosok sahabat yang begitu baik bagi om.” Cetus om Rendy sambil menatap keatas mengenang masa yang pernah ia lewati bersama ayahku.
“tapi kenapa ayah tak pernah ada waktu buat aku”
“itu semua karena om. Om yang meminta ayahmu selalu menemani kemanapun Om pergi, sampai-sampai ia pernah tertidur di tempat umum karena kecapekan.”
Tanpa ku sadari, mendengar cerita om, air mata jatuh dari mataku yang tak pernah menangis karena ayah. Ternyata apa yang aku fikir selama ini tentang ayah semua salah bahkan terlalu salah untuk menggambarkan tentang ayahku. dan aku menyesal mengatakan perkataan yang tak pernah aku ingin katakana. Semua karena kekesalanku yang dengan bodoh ku biarkan keluar dari bibir.http://photylolo.blogspot.com/2012/01/tentang-aku-dan-ayahku.html

1 komentar:

  1. Live Baccarat - Betting Online with The Best Casino
    Live Baccarat. Whether you're new to live baccarat or just septcasino starting a new casino, live baccarat is the game 바카라 사이트 of choice for many players. 메리트 카지노 주소 The game of

    BalasHapus